Bolatimes.com - Praktek pengaturan skor di ranah sepakbola tanah air merupakan dagangan basi yang terus menerus digoreng tiap musimnya. Merujuk pada catatan sejarah jauh sebelum Manajer Madura FC, Januar Herwanto blak-blakan soal percobaan pengaturan skor, nyatanya praktek tersebut sudah puluhan tahun terjadi di Indonesia.
Majalah Tempo edisi 2 April 1988 pernah memuat berita bertajuk 'Acub Zainal: Rusaknya Sudah Terlalu Parah' yang mengacu pada sengkarut tata kelola sepakbola tanah air yang diwarnai suap dan pengaturan skor.
Sementara itu dalam catatan mantan runner pengaturan skor Bambang Suryo, praktek busuk itu sudah jadi penyakit menahun sejak 2010 silam. Di kala itu ada sebanyak 18 laga yang sudah diatur skornya.
Baca Juga: Live Streaming Bhayangkara FC vs PSM Makassar, Duel Penentuan
Melihat tumbuh suburnya praktek kotor itu selama bertahun-tahun tak heran jika kemudian banyak yang skeptis dengan kemajuan sepakbola Indonesia. Anggapan itu bisa saja benar terutama jika melihat sepak terjang, tim-tim asal Indonesia di kancah internasional hingga kiprah Timnas Indonesia yang merepresentasikan wajah sepakbola tanah air nan terus memburuk.
Terkini, skuat Garuda di bawah asuhan pelatih Bima Sakti dibuat tak berkutik kala mengikuti ajang bergengsi dua tahunan, Piala AFF 2018. Para penggawa merah putih senior bahkan harus mengulang rapor merah yang pernah dialami pada Piala AFF edisi 2012 silam yakni tersisih di babak penyisihan.
PSSI sebagai federasi yang mengurusi sepakbola tanah air pun lagi-lagi disorot tajam. Mungkin, lantaran sering dicecar, para pemangku tanggungjawab di tubuh PSSI pun cenderung bersikap bebal menanggapi seruan reformasi hingga menuntut pergantian Ketum PSSI saat ini Edy Rahmayadi yang dianggap kurang cakap menangani sepakbola Indonesia termasuk perihal pengaturan skor alias match fixing yang kembali hangat.
Baca Juga: Totti Protes Keras Penggunaan VAR di Laga AS Roma vs Inter Milan
Bahkan dalam sebuah kesempatan diskusi yang digelar oleh PSSI sendiri, Jumat kemarin, Sekjen PSSI, Ratu Tisha sempat berucap jika memberantas pengaturan skor atau match fixing tak ubahnya memberangus copet di dalam bus kota. Analogi itu dimaksudkan untuk menyebut bahwa upaya pemberantasan itu sulit.
Benarkah demikian?
Mengapa PSSI tak sebaiknya belajar dengan apa yang diupayakan oleh federasi sepakbola Vietnam?
Baca Juga: Bojan Malisic Luruskan Isu Hengkang dari Persib Bandung
Seperti diketahui, Vietnam saat ini menjadi salah satu raksasa kekuatan sepakbola di Asia Tenggara yang nyaris menyamai Thailand. Prestasi terbaik mereka terakhir yakni menjadi finalis Piala AFC U-23.
Yang bikin mencengangkan, mereka mampu melaju ke partai puncak setelah mengandaskan Australia, Qatar serta juara Piala AFC edisi 2013, Irak. Lebih dari itu, kemenangan itu diraih oleh para pemain muda yang sebagian besar di bawah usia 21 tahun tahun.
Fox Sport Asia mencatat rataan pemain Vietnam kala itu adalah 20,7 tahun. Skuat tim berjuluk en Star pun masuk sebagai yang termuda di antara 23 tim peserta Piala AFC U-23 setelah Qatar yang rataannya berada di usia 19,3 tahun.
Baca Juga: Cetak Gol Pertama, Valverde Puji Pemain Muda Barcelona Ini
Tak hanya punya masa depan cerah di level timnas, Vietnam nyatanya juga memiliki kualitas kompetisi tingkat domestik yang sehat dan bersaing. Berdasarkan laporan yang dirilis Konferensi Industri Olahraga Asia (SPIA Asia) pada November 2018 lalu, liga Vietnam yakni V-League didapuk sebagai liga terbaik kategori berkembang 2018.
Mereka berhasil mengalahkan liga dari sepuluh negara berkembang di Asia termasuk Indonesia. Liga Indonesia yakni Liga 1 berada di peringkat ketiga di bawah Liga India yakni I-League.
Masa keemasan sepakbola Vietnam tersebut jelas bukan diraih dalam waktu semalam. Reformasi dari segala lini secara besar-besaran telah diupayakan oleh federasi sepakbola setempat.
Mereka tak hanya merawat tata kelola kompetisi nan sehat tetapi juga menindak tiap gulma yang terindikasi bakal mengganggu perkembangan sepakbola di Vietnam.
Salah satu contoh nyatanya yakni soal penegakan hukum terkait pengaturan skor alias match fixing.
Masih ingatkah bagaimana sebanyak lima pemain Vietnam yang bermain di liga domestik harus merasakan dinginnya bui lantaran terlibat skandal pengaturan skor di V-League.
Dilansir dari www.vir.com.vn, lima pemain dari Dong Nai Club ditangkap pada 2014 silam setelah diketahui melakukan manipulasi hasil pertandingan.
Para pemain terlibat dalam praktek pengaturan skor alias match fixing ketika melawan tim sepak bola provinsi Quang Ninh Utara, di mana Dong Nai kalah 3-5, meskipun sejauh ini tim kuat dan dalam posisi yang aman di puncak liga.
Investigasi polisi menemukan lima pemain telah menerima 400 juta dong ($ 18.500 USD) dari penjudi lokal dengan imbalan tim mereka kalah setidaknya dengan dua gol.
Selain terlibat dalam pengaturan skor di Provinsi Quang Ninh Utara, kelima pemain itu juga dinyatakan bersalah karena terlibat dalam praktek pengaturan skor kala melawan tim provinsi Utara Thanh Hoa pada musim yang sama, yang mana Dong Nai juga kalah 0-3.
Berdasarkan hasil persidangan yang dilakukan dua tahun kemudian, kelima pemain tersebut divonis bersalah dan dijatuhi hukuman penjara.
Kapten tim, Pham Huu Phat, dijatuhi hukuman enam tahun penjara, sementara empat pemain lainnya diberi hukuman ditangguhkan mulai dari 24 hingga 30 bulan setelah persidangan satu hari di provinsi Dong Nai.
Sementara itu empat penjudi lokal lainnya yang terlibat dalam kasus itu juga dijatuhi hukuman. Satu dari mereka dijatuhi hukuman tiga tahun penjara, dan tiga lainnya mendapat hukuman dua tahun ditangguhkan.
Tak selesai di situ, masih di tahun yang sama, publik Vietnam digegerkan dengan adanya skandal pengaturan skor yang melibatkan salah satu tim elit Vietnam di ajang Piala AFC.
Salah satu tim V-League, Vissai Ninh Binh disebut terlibat dalam permufakatan jahat yakni pengaturan skor kala berlaga melawan Kelantan FC.
Dalam penyelidikan awal pihak kepolisian dari 11 pemain yang dimintai informasi mengatakan kepada bahwa mereka menerima sekitar 800 juta dong ($ 37.900) untuk terlibat dalam praktek pengaturan skor.
Dalam pernyataan di situsnya, AFC menyatakan keprihatinannya atas masalah pengaturan pertandingan yang terungkap di Vietnam. Sementara itu, PSSI-nya Vietnam dengan segera melakukan tindakan serius untuk menyudahi praktek busuk itu.
''VFF akan membantu polisi dalam memperluas penyelidikan mereka ke pertandingan lain, tidak hanya yang Ninh Binh tetapi juga dari klub lain,'' kata Presiden VFF Le Hung Dung seperti dikutip oleh surat kabar online VnExpress.
''Operasi besar diperlukan untuk memotong tumor ganas dan membuat sepak bola Vietnam sehat,'' tegasnya.
Nah, merujuk pada sederet potret penegakan hukum terkait pengaturan skor di Vietnam, sudahkah hal serupa dilakukan di Indonesia?
Celakanya belum.
Dari catatan, nyaris sedikit yang pada akhirnya mendapatkan tindakan serius bahkan hingga diseret ke ranah hukum.
Coba saja tengok, kasus Johan Ibo yang sempat menggemparkan dunia sepakbola tanah air di awal 2015 silam. Dalam kasus suap dan pengaturan skor untuk memenangkan Persebaya di laga QNB League 2015, Johan Ibo disebut sebagai dalangnya setelah berhasil tertangkap tangan di sebuah restoran di Surabaya.
Sayangnya, aparat penegak hukum saat itu justru melepas Johan Ibo dengan alasan lemahnya pasal yang bakal disangkakan kepadanya.
Kejadian serupa juga pernah menguap kala terbongkarnya mafia wasit di liga Indonesia pada 1998 silam yang melibatkan salah satu wasit FIFA yang dimiliki Indonesia yakni Djafar Umar. Meski sudah terbongkar dan terang benderang, toh nyatanya praktek-praktek kotor itu tak pernah berlanjut ke ranah hukum.
Jadi, sudah sepantasnya PSSI harus mulai belajar dari Negeri Paman Ho jika ingin sepakbola Indonesia menjadi baik. Sebab meski wartawannya baik, jika PSSI-nya tak baik, Timnas Indonesia juga urung mampu baik.