Bolatimes.com - Mengupas kisah di balik lahirnya istilah ‘One Love’ yang belakangan menggegerkan perhelatan terakbar sepak bola tahun ini, Piala Dunia 2022.
Istilah ‘One Love’ menjadi buah bibir di kalangan pecinta sepak bola dan penikmat gelaran Piala Dunia 2022 yang berlangsung di Qatar.
Bagaimana tidak, istilah ini digaungkan oleh beberapa kontestan Piala Dunia 2022 sebagai kampanye mendukung gerakan LGBT.
Baca Juga: Pesimistis dengan Peluang Belgia di Piala Dunia, Eden Hazard: Kami Bisa Menang Empat Tahun Lalu
Kebetulan kampanye ini bertolak belakang dengan kultur Qatar selaku tuan rumah penyelenggaraan, yang melarang adanya simbol-simbol ‘One Love’ sepanjang turnamen.
Larangan yang diberikan Qatar pun coba dilawan oleh beberapa kontestan Piala Dunia 2022. Hal ini kemudian memaksa FIFA mengambil tindakan.
Di tengah perhelatan Piala Dunia 2022, FIFA dengan tegas akan memberikan kartu kepada para pemain yang ngotot menggunakan ban kapten pelangi saat bertanding.
Baca Juga: Momen Shin Tae-yong Adu Crossbar Challenge saat Latihan, Dua Kali Percobaan Berhasil Semua
Aturan tersebut kemudian membuat negara-negara peserta, terutama dari UEFA atau Eropa, mengancam akan angkat kaki dari keanggotaan FIFA.
Bahkan, aturan FIFA ini kemudian dibalas oleh aksi teatrikal di atas lapangan yang ditunjukkan Timnas Jerman yang menutup mulutnya sebagai tanda kebebasan berpendapat dibungkam.
Polemic ‘One Love’ ini bahkan masih terus berlangsung dan menjadi diskusi bagi para penikmat sepak bola di ajang Piala Dunia 2022.
Lantas, dari mana istilah ‘One Love’ itu hadir? Bagaimana dengan sejarah lahirnya istilah tersebut hingga menjadi polemik yang tak berkesudahan di pentas Piala Dunia 2022?
Gerakan Mendukung Pluralisme
Awal mula gerakan One Love hadir sejatinya berasal dari Jamaika. Gerakan ini kerap digunakan oleh Rastafarian dan musisi Reggae sebagai simbol persatuan.
Baca Juga: Link Live Streaming Prancis vs Denmark di Piala Dunia 2022, Kick Off 23.00 WIB
Adalah Marcus Garvey, seorang aktivis hak-hak sipil kulit hitam yang pertama memperkenalkan gerakan ini di abad ke -19.
Saat itu, Marcus Garvey tengah berpidato atau berorasi dalam sebuah momen. Dalam pidatonya, ia berteriak kata ‘One Love’ yang kemudian menjadi populer.
Istilah One Love sendiri pun makin menjadi populer saat band Reggae bernama The Waillers memasukkan istilah tersebut dalam lirik lagunya.
Usai lagu tersebut meledak, legenda musim Reggae, yakni Bob Marley, kemudian merilis ulang lagu The Wailers tersebut pada tahun 1977.
Sejatinya, One Love diciptakan oleh Marcus Garvey sebagai gerakan solidaritas untuk para kaum kulit hitam di seluruh dunia yang kerap dijajah.
Namun seiring perkembangan zaman, istilah itu dimaknai dengan banyak hal, salah satunya kini identik dengan gerakan LGBT.
Negara-negara barat seperti dari Eropa dan Amerika bahkan rajin mengkampanyekan istilah ini sebagai simbol kebebasan bagi kaum LGBT.
FIFA dan PBB bahkan juga mengakui istilah ini dan kerap mengkampanyekan gerakan One Love untuk mendukung kaum LGBT.
Namun gerakan ini dirasa tak cocok dengan adat di negara timur, termasuk Qatar. Sehingga, FIFA pun kemudian melarang gerakan serta simbol tersebut.
Hal inilah yang kemudian dipermasalahkan oleh negara-negara barat, sehingga banyak negara barat yang mengancam akan keluar dari keanggotaan FIFA jika gerakan ini tetap dilarang di Qatar sepanjang Piala Dunia 2022.