Bolatimes.com - Mengenang tragedi Luzhniki, tragedi berdarah terbesar di dunia sepak bola yang kasusnya ditutup-tutupi oleh pemerintah Uni Soviet.
Belakangan ini, dunia sepak bola dihebohkan dengan tragedi Kanjuruhan yang tercipta pasca laga Derby Jawa Timur antara Arema FC vs Persebaya Surabaya, Sabtu (1/10).
Pasca duel lanjutan Liga 1 2022/2023 itu, lahir sebuah tragedi memilukan yang menelan banyak ratusan korban jiwa di Stadion Kanjuruhan, Malang.
Baca Juga: Liga 1 Diliburkan Sementara, Luis Milla Tetap Gembleng Skuad Persib Bandung
Bermula dari aksi oknum suporter yang masuk ke lapangan pasca pertandingan, pihak keamanan yang dihuni aparat berwajib melakukan tindakan represif.
Tindakan represif tersebut salah satunya adalah menembakkan gas air mata ke arah tribun yang kemudian berujung pada chaos di tribun Stadion Kanjuruhan.
Chaos ini pun kemudian menjadi momen berdarah yang membuat ratusan orang dari kalangan penonton meregang nyawa.
Baca Juga: Jokowi Minta Seluruh Stadion untuk Liga Diaudit Pascatragedi Kanjuruhan
Menurut data resmi yang beredar, total 125 orang dilaporkan meninggal dunia dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan tersebut.
Jumlah tersebut membuat tragedi Kanjuruhan kemudian menjadi tragedi terbesar ketiga dalam sejarah sepak bola di belakang tragedi Lima (328 korban jiwa) dan tragedi Accra (126 korban jiwa).
Nyatanya, masih ada tragedi besar lainnya di sepak bola yang masih ditutup-tutupi. Bahkan tragedi ini memiliki korban jiwa melebihi tragedi Lima pada tahun 1964 silam.
Tragedi tersebut adalah tragedi Luzhniki. Seperti apa kisah tragedi ini sehingga disebut-sebut ditutupi oleh pemerintahan Uni Soviet? Berikut rangkumannya.
Menelan 340 Korban Jiwa
Seperti namanya, Tragedi Luzhniki sendiri terjadi di Stadion Luzhniki, Moskow. Tragedi ini terjadi pada 20 Oktober 1982 saat Rusia dikenal sebagai bagian dari Uni Soviet.
Baca Juga: Tinjau Langsung Lokasi Tragedi Kanjuruhan, Jokowi Singgung Pintu yang Terkunci
Tragedi ini terjadi di laga Piala UEFA saat Spartak Moskow menjamu tim asal Belanda, yakni HFC Haarlem.
Saat tragedi ini pecah, dilaporkan 66 orang meregang nyawa karena terinjak-injak. Namun ternyata jumlah tersebut ditutup-tutupi.
Usai Uni Soviet runtuh, barulah pihak pers melaporkan tragedi itu, di mana ternyata menurut laporan yang ada terdapat 336 korban jiwa.
Dalam laporan tersebut, dikisahkan tragedi ini disebabkan oleh pihak keamanan yang berusaha menangkap para pendukung Spartak Moskow.
Para pendukung Spartak Moskow hendak ditangkap karena menyanyikan lagu-lagu melawan rezim komunis yang saat itu menguasai Uni Soviet.
Karenanya, saat penangkapan berlangsung, banyak para penonton mencoba keluar dari Stadion Luzhniki, sehingga chaos pun tercipta dan banyak orang terinjak-injak hingga meregang nyawa.
Dalam berbagai laporan yang ada, korban jiwa tak diketahui secara pasti. Bahkan ada yang menyebut bahwa korban jiwa mencapai 340 orang.
Jika benar demikian, maka tragedi Luzhniki sendiri menjadi tragedi paling memilukan dalam sejarah sepak bola bila dilihat dari jumlah korban jiwanya.
Maka tak mengherankan kala itu tragedi Luzhniki ini dicap sebagai ‘Chernobyl-nya sepak bola’ yang mengacu pada bencana Chernobyl di Uni Soviet pada 1986 silam.