Bolatimes.com - Premier League selalu punya tim kuda hitam yang siap menggebrak dominasi tim-tim besar di kancah domestik. Salah satunya adalah Portsmouth.
Sejak digulirkan pada tahun 1992, Premier League perlahan menjadi kompetisi paling populer di dunia. Hal ini karena meratanya kekuatan dari setiap kontestannya.
Dibandingkan liga-liga Eropa lainnya, Premier League bisa dikatakan sebagai kompetisi yang sulit ditebak karena tim-tim yang dianggap semenjana bisa menghancurkan tim-tim besar.
Baca Juga: Bos AHHA PS Pati FC Bagi-bagi Bonus usai Klubnya Lolos Degradasi Liga 2
Sebagai contoh ada kisah Blackburn Rovers di tahun 1995 dan Leicester City di tahun 2015 yang berhasil menjadi kampiun Premier League dan merusak dominasi tim-tim kaya.
Namun kisah perlawanan tim-tim kecil ke tim papan atas sendiri kerap terjadi di ajang domestik seperti Piala FA. Salah satunya adala Portsmouth.
Portsmouth mampu meraih juara Piala FA pada musim 2007/2008 usai mengalahkan tim semenjana lainnya, Cardiff City di partai final. Gelar ini menjadi gelar perdana Portsmouth sejak 1939.
Baca Juga: Istri Pamer Dress, Ekspresi Lionel Messi dan Tiga Anaknya Curi Atensi
Jika melihat materinya, wajar jika Portsmouth keluar sebagai juara mengingat ada pemain ternama seperti Nwankwo Kanu, Sol Campbell, Sulley Muntari dan David James.
Sayangnya, keberhasilan menjuarai Piala FA 2008 dengan deretan bintang ini justru membawa tim berjuluk Pompey ini ke jurang kehancuran. Saat ini, Portsmouth berada di kasta ketiga sepak bola Inggris atau League One.
Lantas, bagaimana kisah keruntuhan Portsmouth itu?
Baca Juga: Polisi Beberkan Kronologi Pembakaran Omah PSS, Pelaku Beli Bensin Eceran
Akibat Utang ke Bank dan Perpindahan Kepemilikan
Demi mendatangkan pemain bernama besar, Portsmouth mengambil langkah penuh resiko, yakni meminjam uang ke bank dengan nominal 43 juta euro.
Pinjaman ini nyatanya berbuah buruk karena sang pemilik, Alexandre Gaydamak, di saat yang sama mulai kehabisan modal.
Baca Juga: Respons Berkelas Messi saat Istrinya 'Diusir' di Sesi Foto Ballon d'Or 2021
Alhasil, Gaydamak lantas menjual Portsmouth ke pengusaha Timur Tengah yakni Al Fahim. Seperti kampanye lainnya, Al Fahim selaku pemilik baru kerap mengumbar janji kepada fans akan mengucurkan dana hingga 50 juta euro untuk membeli pemain.
Selain itu, Al Fahim punya sifat arogan yang tak disukai fans, sama seperti pendukung Newcastle United yang tak menyukai Mike Ashley.
Tak berselang lama, Al Fahim lantas menjual Portsmouth ke Al Faraj. Saat dijual ke Al Faraj, Pompey sendiri sudah punya utang 60 juta euro dan terlilit masalah tunggakan gaji pemain.
Kondisi Portsmouth yang compang-camping pun diperparah dengan keputusan Al Faraj menjual Pompey ke pengusaha kaya raya Rusia yakni Vladimir Antonov.
Sayangnya, Antonov tengah terlibat kasus masalah bank di Lithuania yang membuatnya hanya setengah musim saja menjadi pemilik Portsmouth.
Kondisi ini kian memperparah situasi di tubuh Portsmouth yang telah terlilit masalah finansial. Karena itu pula, Pompey mendapat pengurangan poin dan sulit mencari manajer anyar.
Sederet masalah ini benar-benar membuat Portsmouth hancur lebur. Hingga pada musim 2012/13 atau empat tahun setelah menjuarai Piala FA, Pompey harus terdegradasi hingga kasta keempat atau League Two.
Portsmouth pun kini punya misi untuk kembali ke habitatnya, yakni di Premier League. Secara perlahan, Pompey mencoba bangkit di bawah kepemilikan perusahaan Amerika, The Tornante Company.
Hanya saja, jalan Portsmouth masih cukup panjang mengingat tim yang bermarkas di Fratton Park ini tengah berada di peringkat ke-9 League One 2021/22.